BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Semua umat Hindu di Bali mengetahui
bahwa kwangen digunakan untuk memuja Ida Bhatara “Samo daya” yaitu Ida
Sanghyang Widhi beserta manifestasinya.
Dalam lontar indik tetandingan
sebutkan bahwa kwangen itu adalah simbul ong kara dimana mulut kawangen lambang
arsa candra, wang bolong lambang windu (kosong) dam sampian kawangen lambang
nada (bintang), dalam upacara pitra yadnya dipakai linggih Sang Hyang Atma yang
sedang diupacarai begitu juga dalam upacara Dewa Yadnya/ persembahyangan
kawangen dijadikan tempat lingga Ida SangHyang Widhi Wasa.
Namun disisi lain kawangen disalah
fungsikan dimana yang fungsinya yang begitu sakral digunakan sebagai sarana untuk
menyambut tamu itu sama saja menghancurkan simbul agama kita yang amat kita
sucikan. Maka dari itu mari kita sama-sama menjaga dan memelihara sarana dan
prasarana upacara yang mempunyai makna dan nilai yang amat sakral bagi umat
Hindu.
A. Rumusan Masalah
Peper adalah sesuatu hal yang
menimbulkan pernyataan yang mendorong untuk mencarikan jawabannya atas sesuatu
yang dipecahkan poerwadarmita juga mengatakan bahwa Peper adalah setiap
kesulitan yang menggerakkan manusia
untuk mencegahnya.
Berdasarkan
uraian diatas, maka rumusan masalah dalam Peper ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah
arti dari KUANGEN
2. Bentuk
dari KUANGEN
3. Etika
dari Kuangen
B.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penyusunan pembuatan Peper ini adalah untuk mencapai beberapa tujuan
antara lain dapat kemukakan sebagai berikut:
1. Agar
dapat mengerti apakah arti Kuangen
2. Bentuk-bentuk
dari kuangen
3. Etika
sebuah Kuangen
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kewangen
Agama Hindu merupakan agama yang
ritualnya dihiasi dengan sarana atau
upakara.
Ini bukan berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk menghias
pelaksanaan
ritual. Pelaksanaan ritual dengan jenis upakara tertentu memiliki makna
dan tujuan
tertentu sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan. Sengaja atau tidak,
disadari atau
tidak yang jelas kehadiran upakara dalam ritual Hindu di Bali tampak
indah
atau mengandung estetika.
Upakara ritual agama Hindu di Bali
kaya dengan jenis dan bentuk upakara.
Baik
dari bentuk yang paling kecil dan sederhana, sampai yang paling besar dan
rumit.
Sebagai contoh dalam pelakasanaan upacara keagamaan atau dalam
persembahyangan
diperlukan beberapa sarana, seperti penjor, gebogan, daksina,dan
sebagainya. Termasuk juga salah satunya berupa “kewangen”.
Kalau
dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara
simbol
“Omkāra” (ý) (Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om” (ý) adalah
huruf suci,
singkat
dan mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa
“kewangen”
memiliki bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum.
Keharuman
”kewangen” ini adalah suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakta
senantiasa
mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan.
Keberadaan
“Kewangen” sangat penting dalam upacara persembahyangan karena
memiliki
makna simbolik yang dipuja yaitu Tuhan Yang Mahaesa (Ida Sang Hyang
Widhi
Wasa). Sebagai simbolik Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya
“kewangen”
dibuat dengan bentuk yang indah dari bahan-bahan yang indah juga dan
harum.
Hal ini dapat dimaknai bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah
indah,
harum, dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan.
B. Bentuk
Kewangen
Sebagai simbol “Omkara” dalam
bentuk upakara, “kewangen” memiliki
ukuran
bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti
bunga
sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun pisang,
pelawa,
porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga
harum
yang
ditusuk dengan biting. Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan
sisih
asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong.
Selanjutnya sampian kewangen,
bunga-bunga
harum, dan terakhir adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi yang
dilipat
sehingga mudah ditancapkan. Adapun bentuk “kewangen” seperti yang
Nampak
pada gambar berikut.
Gambar Bentuk Kuangen
C. Estetika
Kewangen
Keindahan (estetika) hasil dari
kreativitas manusia baik sengaja atau tidak,
pada
prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat
karya
itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam
kesehariannya
selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya,
baik
yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia
tidak
dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai
penyeimbang
logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia.
Tanpa
keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai
rasa.
Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai
penghalus
rasa dalam kehidupannya.
Demikian juga halnya dalam simbol
upakara ” Omkāra” dalam bentuk
”Kewangen”
yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika.
”Kewangen”
memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk
keperluan
seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kewangen” yang merupakan sarana dalam
persembahyangan
umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kewangen ”
sebagai
sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya
membawa
suasana bathin yang indah, senang, suci, kusuk dan nyaman sehingga
memudahkan
berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah
”kewangen”
dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana
senang,
suci, kusuk dan nyaman dalam sembahyang.
D. Unsur-unsur
keindahan Kewangen
Untuk
mewujudkan estetika “kewangen” diperlukan beberapa unsur yang
mengandung
makna tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya
keindahan
(estetika) pada pada bentuk “kewangen”. Adapun unsur tersebut antara
lain:
1)
Kojong kewangen
Kojong
kewangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya
dibentuk lancip,
bagian
atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan.
Unsur
ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga
bentuk
yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen
melambangkan
“Arda Candra” (‚), badang kojong melambangkan “Suku
Tunggal”
(3).
2)
Pelawa
Pelawa
adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bisa
dari
daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun
sejenisnya.
Pelawa tersebut melambangkan ketengan dan kejernihan pikiran.
Pelawa
juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat
mendukung
estetika “kewangen”.
3)
Porosan silih asih
Porosan
silih asih adalah dua lembar daun sirih yang
digabung berhadaphadapan,
ditengahnya
berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih
simbol
dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur
ini
juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kewangen”.
4)
Sampian kewangen
Sampian
kewangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan
dihiasi dengan
bunga-bunga
yang harum. Sampian kewangen sebagai simbol “Nada” ( ). Unsur
ini
paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kewangen. Sampian
kewangen
dari rangkaian tuesan daun kelapa dibuat
mengikuti unsur-unsur
keindahan
bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta
penataan
yang mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan
menambah
keindahan (estetika) sebuah “kewangen”.
5)
Pis bolong
Pis
Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang
yang diperluka dalam upacara
keagamaan
umat Hindu. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng
juga
memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta
pada
sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung
estetika
dari “kewangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu
penyatuan
Siwa Budha.
E. Komposisi keindahan Kewangen
Komposisi merupakan penataan
unsur-unsur yang membentuk keindahan
suatu
karya. Komposisi keindahan “kewangen” adalah menata atau menyusun
unsurunsur
dari
“kewangen” itu sendiri, seperti: menata atau menyusun kojong kewangen,
pelawa,
porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga,
sehingga
menjadi bentuk yang indah dan menarik.
1)
Keseimbangan
Penataan unsur-unsur “kewangen” dengan
memperhatikan keseimbangan antara
bagian
kiri dan kanan dengan menerapkan keseimbangan simetris, yaitu bagian
kiri
dan kanan diusahakan unsur-unsurnya memiliki bentuk, ukuran, dan warna
yang
sama. Hal ini dilakukan agar “kewangen” tidak berkesan berat sebelah.
2)
Kesatuan
Penataan
unsur-unsur “kewangen” agar berkesan suatu keutuhan bentuk. Unsur
yang
satu menukung unsur yang lainnya sehingga tidak ada kesan yang lepas
atau
terpisah antara bagian-bagian dari “kewangen” itu sendiri. Penataan ini
perlu
dilakukan agar pandangan orang terhadap “kewangen” terfokus pada
keutuhan
bentuk “kewangen”.
3)
Irama
Penataan
unsur-unsur “kewangen” berdasarkan irama untuk menimbulkan
keharmonisan
bentuk “kewangen”. Penataan ini dapat dilakukan dengan
mengatur
gradasi bentuk, ukuran dan warna unsur, misalnya dari bentuk kecil ke
bentuk
yang lebih besar dan kembali ke bentuk yang kecil, atau dari warna yang
terang
ke warna yang lebih gelap dan kembali ke warna yang terang.
4)
Proporsi
Proporsi
merupakan perbandingan dalam penataan unsur-unsur pembentuk
“kewangen”
termasuk ketepatan penempatan posisi dari masing-masing bagianbagian
dari
“kewangen”, seperti penempatan sampian kewangen pada bagian
belakang,
pis bolong pada bagian depan, dan sebaginya. Penempatan unsur-unsur
kewangen
yang tepat pada posisinya tentu akan mendukung keindahan bentuk
“kewangen”.
F. Hubungan
bentuk, esteika dan fungsi
Bentuk “kewangen” yang kecil
dan mungil serta seolah-olah berbentuk segitiga terbalik tentu telah
memperhitungkan fungsi dari “kewangen” tersebut. Fungsi yang dimaksud
adalah saat digunakan untuk sembahyang, yaitu “kewangen” dipegang (dijepit)
pada cakupan kedua telapak tangan tepat sejajar dengan ubun-ubun. Artinya “kewangen”
nyaman digunakan saat sembahyang, tidak susah dipegang, tidak mudah jatuh
dan tidak mengganggu konsentrasi
Keserasian antara bentuk dan fungsi
mutlak harus dikondisikan. Keindahan bentuk jangan
sampai
mengganggu fungsi dan sebaliknya fungsi jangan sampai menganggu bentuk. Kalau
diperhatikan, pada bagian badan “kewangen” yang merupakan kojong “kewangen”
dibuat polos (sederhana) tanpa hiasan, hal ini untuk memudahkan dipegang
(dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan. Demikian juga, keindahan bentuk
jangan sampai tergganggu akibat salah menggunakan atau memegang “kewangen”.
Keserasian
bentuk dan fungsi “kewangen” akan memberikan kepuasan bathin
saat
memandangi estetika “kewangen”, seperti dapat menimbulkan kesenangan,
menyejukkan
pikiran, dan kedamaian hati. Demikian juga saat digunakan untuk
sembahyang
dapat memberikan kekusukan dan kesucian bathin.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa estetika “kewangen” nampak
pada
bentuknya yang kecil dan mungil yang tersusun atas komposisi unsur-unsur
yang
indah dan bermakna simbolik serta dihiasi dengan bunga-bunga yang harum.
Keindahan
(estetika) kewangen memiliki keserasian bentuk dan fungsi sehingga
nyaman
digunakan pada saat sembahyang baik secara fisik maupun bathin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari peper ini penulis memeberikan
kesimpulan bahwa :
Sesungguhnya Kwangen atau Kuangen
ini tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis.
dimana Kwangen ini sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang
Pencipta.
Seperti
kita ketahui bahwa Kawangen tidak hanya
dipakai pada upacara persembahyangan saja tetapi juga dipakai pada upacara-upacara
lainnya umpamanya pada upacara Bhutayadnya. Kawangen ditempatkan
di atas kulit binatang (bayang-bayang)
yang dipersembahkan. Pada upacara Devayadnya, Kawangen dipakai
melengkapi “pedagingan“,
sedangkan pada upacara Pitrayadnya, Kawangen diletakkan
pada persendian-persendian seseorang yang sudah meninggal, ataupun pada puspa (sekah). Rupanya
fungsi Kawangen dalam hal
ini adalah sebagai “Pengurip-urip“.
Disamping itu pada beberapa jenis sesajen akan dipergunakan pula Kawangen sebagai
pelengkapnya. Mengenai pemakaian uang disesuaikan dengan fungsinya, yaitu bila
dipakai sebagai pengurip-urip
sedapat mungkin dipakai uang kepeng, sebab peranan uang dalam ha ini tidak
hanya kepeng, tetapi juga sebagai pengganti “Panca Datu” ( emas, perak, tembaga, besi dan
permata ). Tetapi juga dipakai pada upacara-upacara persembahyangan yang umum
atau sebagai pelengkap sesuatu sesajen, dapat dipergunakan uang logam, sebab
yang diutamakan dalam hal ini adalah bentuk yang bulat melambangkan Vindu.
Demikian Peper dapat saya
sajikan, mudah-mudahan bisa bermanfaat, khususnya bagi kami penulis,
umumnya bagi para pembaca sekalian. Saya
menyadari dalam penyusunan Peper ini masih banyak kesalahan dan kekurangannya
kritik yang bersifatnya membangun sangat saya harapkan untuk kemajuan kearah
yang lebih baik.
DAFTAR
REFERENSI
Anonim. 2002. “Kewangen”,
“Bahasa” Umat Kepada Tuhan.
http://www.network54.com.
Anonim. 2002. Kewangen,
Lambang “Om Kara”. http://www.network54.com.
Anonim. 2001. Kewangen.
http://www.babadbali.com
Niken Tambang
Raras. 2006. Kewangen Mengingat-mengucapkan dan
Mengharumkan
Nama-Nya.Surabaya:
Paramita.
Surayin, Ida Ayu
Putu. 1992. Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-Upacara
Yadnya.
Denpasar: Upada Sastra.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar