Selasa, 13 Agustus 2013

makalah bahasa indonesia/Kedudukan Dan Fungsi Bahasa Daerah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, banyak sekali bahasa daerah digunakan sebagai bahasa berkomunikasi setiap harinya di masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat memahami penggunaan bahasa Indonesia yang baku. Selain itu masyarakat merasa canggung menggunakan bahasa Indonesia yang baku di luar acara formal atau resmi. Oleh karena itu, masyarakat lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia yang telah terafiliasi oleh bahasa daerah, baik secara pengucapaan maupun arti bahasa tersebut. Kebiasaan penggunaan bahasa daerah ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi negara Indonesia.
Kalau diperhatikan, bahasa paling popular sekarang ini adalah bahasa-bahasa gaul, bahkan bahasa Indonesia sendiri sudah tidak begitu diperhatikan dalam pengucapannya, terkadang sudah tidak baku lagi. Apalagi bahasa daerah, yang kebanyakan dianggap oleh generasi muda tidak begitu penting untuk dipelajari, ini semua karena menjaga gengsi, takut dianggap ketinggalan zaman, kampungan, dan lain-lain. Sehingga tanpa mereka sadari, bahasa daerah akan punah seiring berkembangnya zaman. Memang, tidak seharusnya juga kita menggunakan bahasa daerah didalam keseharian kita, namun setidaknya kita bisa tahu tentang bahasa daerah kita sendiri ketika orang  menanyakannya pada kita. Sehingga, kita harus memberikan pembinaan terhadap generasi muda untuk menyadarkan tentang penggunaan dan fungsi bahasa daerah itu sendiri.
Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya, khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia. Sebagai contoh, seorang anak memiliki ibu yang berasal dari daerah Sekayu sedangkan ayahnya berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan orang Palembang. Dalam mengucapkan sebuah kata misalnya “mengapa”, sang ibu yang berasal dari Sekayu mengucapkannya ngape (e dibaca kuat) sedangkan bapaknya yang dari Pagaralam mengucapkannya ngape (e dibaca lemah) dan di lingkungannya kata “megapa” diucapkan ngapo. Ketika sang anak mulai bersekolah, ia mendapat seorang teman yang berasal dari Jawa dan mengucapkan “mengapa” dengan ngopo. Hal ini dapat menimbulkan kebinggungan bagi sang anak untuk memilih ucapan apa yang akan digunakan.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini akan mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya. Berbedannya bahasa di tiap-tiap daerah menandakan identitas dan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat yang merantau ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah yang sama, salah satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka. Tidak jarang pula orang mempelajari sedikit atau hanya bisa-bisaan untuk berbahasa daerah yang tidak dikuasainya agar terjadi suasana yang lebih akrab. Beberapa kata dari bahasa daerah juga diserap menjadi Bahasa Indonesia yang baku, antara lain kata nyeri (Sunda) dan kiat (Minangkabau).
B.     Rumusan Masalah
Sehubungan dengan kaitan ini penulis menemukan beberapa permasalahan didalam pembahasan mengenai bahasa daerah khususnya dikalangan generasi muda.
1.      Bagaimana fungsi  bahasa dan devinisi bahasa dari para ahli?
2.      Bagaimana revitalisasi bahasa daerah dikalangan generasi muda?
3.      Bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa daerah?
4.      Bagaimana peran bahasa daerah dalam persatuan bangsa?
5.      Apakah ada pertentangan dalam penggunaan bahasa daerah dengan bahasa nasional?
6.      Apa saja dampak positif dan negative penggunaan bahasa daerah didalam bahasa Indonesia?
BAB II
PERUMUSAAN MASALAH

Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan; apakah itu pada suatu daerah kecil, negara bagian federal atau provinsi, atau daerah yang lebih luas. Sedangkan defenisi Bahasa Daerah dalam hukum Internasional yang termuat dalam rumusan Piagam Eropa untuk Bahasa-Bahasa Regional atau Minoritas diartkan bahwa "bahasa-bahasa daerah atau minoritas" adalah bahasa-bahasa yang secara tradisional digunakan dalam wilayah suatu negara, oleh warga negara dari negara tersebut, yang secara numerik membentuk kelompok yang lebih kecil dari populasi lainnya di negara tersebu; dan berbeda dari bahasa resmi (atau bahasa-bahasa resmi) dari negara tersebut.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi.
Berikut ini adalah pengertian dan definisi bahasa menurut para ahli:
1.      Sudaryono
Bahasa adalah sarana komunikasi yang efektif walaupun tidak sempurna sehingga terjadinya kesalahpahaman.
2.      Carrol
Bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.
3.      Ferdinand De Saussure 
Bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain.
Mengenai bahasa daerah , kita tahu bahwa dalam UUD 1945 dinyatakan juga bahwa bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai oleh Negara karena ia merupakan bagian daripada kebudayaan bangsa yang hidup (J.S. Badudu 1985: 07).


BAB III
PEMBAHASAN

Dalam penulisan ini, penulis menguraikan beberapa sub-sub pokok pembahasan yang terkait dengan judul.

A.      Revitalisasi Bahasa Daerah Dikalangan Masyarakat.

Mengapa kita perlu memvitalkan kembali bahasa daerah di saat-saat sekarang ini. Di tengah arus globalisasi yang mendunia ini, perlu secepatnya kita berbenah diri sebelum terlambat. Dikarenakan kalau kita lambat dalam menghadapinya, maka yang terjadi justru kita terbawa arus globalisasi tersebut. Maka dari itu, dari sisi bahasa perlu kiranya kita menguatkan kembali peran dari bahasa lokal atau bahasa daerah dalam menghadapi arus globalisasi tersebut. 
Contoh nyata saja yang sekarang kita alami, yaitu begitu derasnya arus Bahasa Inggris masuk ke dalam setiap sendi kehidupan kita. Sadar atau tidak sadar, setiap yang kita lihat, dengar, rasakan, hampir sebagian besar berbahasa Inggris selain juga bahasa yang lain – tetapi bahasa Inggrislah yang sekarang sedang menguasai dunia. Mulai dari barang-barang yang kecil seperti pena, pensil, sandal, sampai ke barang-barang yang besar seperti TV, Komputer, Mobil, dan lain-lain hampir semuanya terpampang bahasa Inggris. Bahkan ada juga yang diproduksi oleh pabrik Indonesia, tetapi menggunakan Bahasa Inggris baik di dalam kemasannya ataupun dalam hal pemasarannya.
Dilihat dari sisi pendidikan pun sama, hampir di setiap sekolah terdapat pelajaran bahasa Inggrisnya, bahkan tingkatan TK-SD pun sudah mengenal Bahasa Inggris. Lantas apakah bahasa daerah atau bahkan bahasa nasional pun bisa berlaku demikian. Belum tentu. Kita bisa tengok di dalam pendidikan kita, bahasa daerah hanya sebatas pelajaran muatan lokal yang kadang merupakan pelajaran yang kurang disukai, kalah dengan pelajaran matematika, IPA, atau Bahasa Indonesia. Bahkan mungkin juga dalam menerangkan pelajaran muatan lokal tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Apabila memang demikian, perlu sekiranya kita rubah mulai dari sekarang.
Oleh karena itu, diperlukan usaha yang keras dari semua pihak dalam memvitalkan kembali peran dari bahasa daerah sebagai bahasa asli daerah setempat. Tanggung jawab ini tidak bisa hanya diserahkan begitu saja kepada pemerintah lewat dewan bahasa atau apapun. Akan tetapi, semua pihak mulai dari lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan daerah setempat untuk bisa mempertahankan kearifan lokal berupa bahasa daerah tersebut.
Tentunya ini hanya sebagian kecil saja usaha yang perlu dilakukan dalam memvitalkan kembali peran bahasa daerah. Masih terbuka luas kesempatan dan cara yang lain agar bahasa daerah bisa menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi daerah yang bersangkutan. 

B.     Kedudukan Dan Fungsi Bahasa Daerah
Bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku atau kelompok etnis di tanah air. Tiap kelompok etnis mempunyai bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam komunikasi antaretnis atau sesama suku. Perencanaan bahasa nasional tidak bisa dipisahkan dari pengolahan bahasa daerah, demikian pula sebaliknya. Itulah sebabnya di samping mengolah bahasa nasional, Politik Bahasa Nasional pun berfungsi sebagai sumber dasar dan pengarah bagi pengolahan bahasa daerah yang jumlahnya ratusan dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. Hal itu sejalan dengan UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 di dalam penjelasannya, dikatakan: “Bahasa daerah itu adalah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup; bahasa daerah itu adalah salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara”, yang fungsinya sebagaimana disimpulkan oleh peserta Seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975 di Jakarta, yakni: “Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa seperti Sunda, Jawa, Bali, Madura, Bugis, Makassar, dan Batak berfungsi sebagai:
1. Lambang kebanggaan daerah,
2. Lambang identitas daerah, dan
3. alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.
Di dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai:
1.      Pendukung bahasa nasional,
2.   Bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat
permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan
 alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah” (Halim (Ed.), 1976:145—46).
Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh Negara. UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” dan juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan kosa kata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya.
Di daerah tertentu , bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga). Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia , kecuali daerah-daerah yang mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Dalam tatanan pemerintah pada tingkat daerah , bahasa daerah menjadi penting dalam komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat yang kebanyakan masih menggunakan bahasa ibu sehingga dari pemerintah harus menguasai bahasa daerah tersebut yang kemudian bisa di jadikan pelengkap di dalam penyelenggaraan pemerintah pada tingkat daerah tersebut.
Bahasa daerah dan Bahasa Indonesia yang digunakan secara bergantian menjadikan masyarakat Indonesia menjadi dwibahasawan. Menurut Mackey dan Fishman (Chaer, 2004: 84) kedwibahasaan diartikan sebagai “...penggunaan dua bahasa oleh penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian”.
Bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan kosa kata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya.
Kepunahan bahasa daerah di Indonesia dipetakan sebagai berikut : di Kalimanatan 50 bahasa daerah terancam punah dan satu sudah punah. Dari 13 bahasa di Sumatra, dua terancam punah dan satu sudah punah.Sulawesi yang memiliki 110 bahasa, 36 terancam punah dan satu sudah punah. Dari 80 bahasa daerah di Maluku, 22 terancam punah dan 11 sudah punah. Di daerah Timor, Flores, Bima, dan Sumba dari 50 bahasa yang ada sebanyak delapan terancam punah. Di daerah Papua dan Halmahera dari 271 bahasa sebanyak 56 bahasa terancam punah. Di Jawa tidak ada bahasa daerah terancam punah.
Berdasarkan berbagai kondisi di atas, perlu adanya suatu sistem yang mampu mensinergikan antara bahasa daearah sebagai bahasa ibu, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, serta bahasa Inggris sebagai bahasa internasonal.

C.    Peran Bahasa Daerah Didalam Persatuan Bangsa
Persatuan bangsa Indonesia terbentuk bukan dari keseragaman, tetapi terbentuk dari keanekaragaman. Semboyan Bhineka Tunggal Ika selalu melekat di hati setiap warga negara Indonesia, karena dengan kebhinekaan inilah bangsa Indonesia ada. Bhineka Tunggal Ika tidak hanya menyangkut suku-suku, ras-ras, dan agama-agama saja, tetapi juga mencakup bahasa, karena pada hakekatnya bahasa melekat pada diri manusia. Sementara manusia itu sendiri merupakan pelaku kebudayaan.
Apa jadinya apabila bangsa Indonesia ini terbentuk dari keseragaman budaya, adat-istiadat, agama, bahasa, dan keseragaman yang lain. Ada pendapat menarik dari Cuellar (1996: 72) yang dikutip oleh Hidayat (2006: 40), yaitu setiap usaha yang memaksakan keseragaman atas kebhinekaan ini merupakan tanda-tanda awal kematian. Pernyataan ini memang terdengar ekstrim, tetapi bukannya tanpa alasan, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda satu sama lain. Maka, apa jadinya ketika dunia ini semuanya sama, tidak ada perbedaan dan tentunya tidak ada warna warni kehidupan.  Lebih lanjut dikatakan bahwa khusus dalam hubungannya dengan keberagaman bahasa dikatakan bahwa kebhinekaan bahasa (linguistic diversity) merupakan aset kemanusiaan yang tak ternilai harganya, dan hilangnya sebuah bahasa merupakan pemiskinan (impoverishment) akan sumber pengetahuan dan pikiran masyarakatnya.  

D.    Dampak Positif dan Negatif Penggunaan Bahasa Daerah Didalam Bahasa Indonesia.
Berikut beberapa pengaruh atau dampak penggunaan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia:
1.      Dampak Positif
a) Bahasa Indonesia memiliki banyak kosakata.
b) Sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia.
c) Sebagai identitas dan ciri khas dari suatu suku dan daerah.
d) Menimbulkan keakraban dalam berkomunikasi.
2. Dampak Negatif
a)         Bahasa daerah yang satu sulit dipahami oleh daerah lain.
b)         Warga negara asing yang ingin belajar bahasa Indonesia menjadi kesulitan karena terlalu banyak kosakata.
c)         Masyarakat menjadi kurang paham dalam menggunakan bahasa                    Indonesia      yang baku             karena sudah terbiasa menggunakan bahasa   daerah.
d)         Dapat menimbulkan kesalahpahaman.
            Pada bahasa-bahasa daerah di Indonesia juga terdapat beberapa kata           yang sama dalam tulisan dan pelafalan tetapi memiliki makna yang             berbeda, berikut beberapa contohnya:
a.         Suwek dalam bahasa Sekayu (Sumsel) bermakna tidak ada.
            Suwek dalam bahasa Jawa bermakna sobek.
b.         Kenek dalam bahasa Batak bermakna kernet (pembantu sopir).
            Kenek dalam bahasa Jawa bermakna kena.
Melalui beberapa contoh itu ternyata penggunaan bahasa daerah memiliki tafsiran yang berbeda dengan bahasa lain. Jika hal tersebut digunakan dalam situasi formal seperti seminar, lokakarya, simposium, proses belajar mengajar yang pesertanya beragam daerahnya akan memiliki tafsiran makna yang beragam. Oleh karena itu, penggunaan bahasa daerah haruslah pada waktu, tempat, situasi, dan kondisi yang tepat.










BAB IV
KESIMPULAN
Bahasa menurut teori struktural, dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional (Soeparno 2002: 1). Artinya, bahasa memiliki ciri arbitrer dan konvensional. Sedangkan, bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan; apakah itu pada suatu daerah kecil, negara bagian federal atau provinsi, atau daerah yang lebih luas. Sedangkan defenisi Bahasa Daerah dalam hukum Internasional yang termuat dalam rumusan Piagam Eropa untuk Bahasa-Bahasa Regional atau Minoritas diartkan bahwa "bahasa-bahasa daerah atau minoritas" adalah bahasa-bahasa yang secara tradisional digunakan dalam wilayah suatu negara, oleh warga negara dari negara tersebut, yang secara numerik membentuk kelompok yang lebih kecil dari populasi lainnya di negara tersebu; dan berbeda dari bahasa resmi (atau bahasa-bahasa resmi) dari negara tersebut.
Di tengah arus globalisasi yang mendunia ini, perlu secepatnya kita berbenah diri sebelum terlambat. Dikarenakan kalau kita lambat dalam menghadapinya, maka yang terjadi justru kita terbawa arus globalisasi tersebut. Maka dari itu, dari sisi bahasa perlu kiranya kita menguatkan kembali peran dari bahasa lokal atau bahasa daerah dalam menghadapi arus globalisasi tersebut. Dilihat dari sisi pendidikan pun sama, hampir di setiap sekolah terdapat pelajaran bahasa Inggrisnya, bahkan tingkatan TK-SD pun sudah mengenal Bahasa Inggris. Lantas apakah bahasa daerah atau bahkan bahasa nasional pun bisa berlaku demikian. Belum tentu.


            Persatuan bangsa Indonesia terbentuk bukan dari keseragaman, tetapi terbentuk dari keanekaragaman. Semboyan Bhineka Tunggal Ika selalu melekat di hati setiap warga negara Indonesia, karena dengan kebhinekaan inilah bangsa Indonesia ada. Bhineka Tunggal Ika tidak hanya menyangkut suku-suku, ras-ras, dan agama-agama saja, tetapi juga mencakup bahasa, karena pada hakekatnya bahasa melekat pada diri manusia.
Selain itu juga, dalam penggunaan bahasa daerah terdapat dampak positifnya dan juga negative. Contoh positifnya Indonesia mempunyai banyak kosa kata, tetapai dalam dampak negatifnya bahasa daerah satu sulit untuk dipahami oleh daerah yang lain. Bahasa nasional sebagai bahasa kedua yang menghendaki agar semua lapisan masyarakat menggunakannya, bisa berakibat bahasa daerah sebagai bahasa pertama sedikit demi sedikti terkikis. Apabila hal ini tetap dipaksakan, maka bahasa daerah yang kurang kuat alias sedikit penggunanya bisa menghilang bahkan tidak dikenal lagi di masa yang akan datang. Bahasa-bahasa daerah yang ada merupakan kekayaan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Perlu kiranya kita apresiasi kebijakan tersebut. Namun demikian, kita tidak hanya memberi aplaus saja terhadap kebijakan tersebut, tetapi juga kita wajib menjaga kelestarian bahasa daerah yang ada di tanah air ini.
















Daftar Pustaka

Badudu, J.S,
                        1985. Cakrawala bahasa Indonesia. Jakarta: P.T Gramedia.
Asefamani
2008. peranan bahasa daerah dalam persatuan bangsa. Wordpress.com, (online), (http://asefamani.wordpress.com/2008/09/08/peranan-bahasa-
Daerah-dalam-persatuan-bangsa/html. Diakses 02 juni 2012)

      Ajisapto, Dwi
2011. pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing. Blogspot.com,(online),(http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/02/26/pengaruh-bahasa-daerah-Dan-bahasa-asing/html. Diakses 02 juni 2012)

Thalib, Ariyanti,
                        2012. kedudukan dan fungsi bahasa daerah. Blogspot.com


makalah kuangen



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Semua umat Hindu di Bali mengetahui bahwa kwangen digunakan untuk memuja Ida Bhatara “Samo daya” yaitu Ida Sanghyang Widhi beserta manifestasinya.
Dalam lontar indik tetandingan sebutkan bahwa kwangen itu adalah simbul ong kara dimana mulut kawangen lambang arsa candra, wang bolong lambang windu (kosong) dam sampian kawangen lambang nada (bintang), dalam upacara pitra yadnya dipakai linggih Sang Hyang Atma yang sedang diupacarai begitu juga dalam upacara Dewa Yadnya/ persembahyangan kawangen dijadikan tempat lingga Ida SangHyang Widhi Wasa.
Namun disisi lain kawangen disalah fungsikan dimana yang fungsinya yang begitu sakral digunakan sebagai sarana untuk menyambut tamu itu sama saja menghancurkan simbul agama kita yang amat kita sucikan. Maka dari itu mari kita sama-sama menjaga dan memelihara sarana dan prasarana upacara yang mempunyai makna dan nilai yang amat sakral bagi umat Hindu.
A.    Rumusan Masalah
Peper adalah sesuatu hal yang menimbulkan pernyataan yang mendorong untuk mencarikan jawabannya atas sesuatu yang dipecahkan poerwadarmita juga mengatakan bahwa Peper adalah setiap kesulitan  yang menggerakkan manusia untuk mencegahnya.
            Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam Peper ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah arti dari KUANGEN
2.      Bentuk dari  KUANGEN
3.      Etika dari Kuangen
B.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penyusunan pembuatan Peper ini adalah untuk mencapai beberapa tujuan antara lain dapat kemukakan sebagai berikut:
1.      Agar dapat mengerti apakah arti Kuangen
2.      Bentuk-bentuk dari kuangen
3.      Etika sebuah Kuangen
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kewangen
            Agama Hindu merupakan agama yang ritualnya dihiasi dengan sarana atau
upakara. Ini bukan berarti upakara itu dihadirkan semata-mata untuk menghias
pelaksanaan ritual. Pelaksanaan ritual dengan jenis upakara tertentu memiliki makna
dan tujuan tertentu sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan. Sengaja atau tidak,
disadari atau tidak yang jelas kehadiran upakara dalam ritual Hindu di Bali tampak
indah atau mengandung estetika.
            Upakara ritual agama Hindu di Bali kaya dengan jenis dan bentuk upakara.
Baik dari bentuk yang paling kecil dan sederhana, sampai yang paling besar dan
rumit. Sebagai contoh dalam pelakasanaan upacara keagamaan atau dalam
persembahyangan diperlukan beberapa sarana, seperti penjor, gebogan, daksina,dan sebagainya. Termasuk juga salah satunya berupa “kewangen”.
           
Kalau dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara
simbol “Omkāra” (ý) (Niken Tambang Raras, 2006: 2). “Om” (ý) adalah huruf suci,
singkat dan mudah diingat. Demikian juga dalam bentuk upakaranya berupa
kewangen” memiliki bentuk kecil, mungil, praktis, dan indah serta berbau harum.
Keharuman ”kewangen” ini adalah suatu tanda atau isyarat agar umat atau bhakta
senantiasa mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci Tuhan.
Keberadaan “Kewangen” sangat penting dalam upacara persembahyangan karena
memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu Tuhan Yang Mahaesa (Ida Sang Hyang
Widhi Wasa). Sebagai simbolik Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), tentunya
kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah dari bahan-bahan yang indah juga dan
harum. Hal ini dapat dimaknai bahwa Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) adalah
indah, harum, dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan.

B.     Bentuk Kewangen

            Sebagai simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki
ukuran bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti
bunga sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun pisang,
pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga harum
yang ditusuk dengan biting. Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan
sisih asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong. Selanjutnya sampian kewangen,
bunga-bunga harum, dan terakhir adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi yang
dilipat sehingga mudah ditancapkan. Adapun bentuk “kewangen” seperti yang
Nampak pada gambar berikut.

Gambar Bentuk Kuangen
C.    Estetika Kewangen

            Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak,
pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat
karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam
kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya,
baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusia
tidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagai
penyeimbang logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia.
Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilai
rasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagai
penghalus rasa dalam kehidupannya.

            Demikian juga halnya dalam simbol upakara ” Omkāra” dalam bentuk
Kewangen” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika.
Kewangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk
keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kewangen” yang merupakan sarana dalam
persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kewangen ”
sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya
membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusuk dan nyaman sehingga
memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah
kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana
senang, suci, kusuk dan nyaman dalam sembahyang.

D.    Unsur-unsur keindahan Kewangen

Untuk mewujudkan estetika “kewangen” diperlukan beberapa unsur yang
mengandung makna tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya
keindahan (estetika) pada pada bentuk “kewangen”. Adapun unsur tersebut antara
lain:

1) Kojong kewangen
Kojong kewangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip,
bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan.
Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga
bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen
melambangkan “Arda Candra” (‚), badang kojong melambangkan “Suku
Tunggal” (3).

2) Pelawa
Pelawa adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bisa
dari daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun
sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketengan dan kejernihan pikiran.
Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat
mendukung estetika “kewangen”.

3) Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadaphadapan,
ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih
simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur
ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kewangen”.

4) Sampian kewangen
Sampian kewangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan
bunga-bunga yang harum. Sampian kewangen sebagai simbol “Nada” ( ). Unsur
ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kewangen. Sampian
kewangen dari rangkaian tuesan daun kelapa dibuat mengikuti unsur-unsur
keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta
penataan yang mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan
menambah keindahan (estetika) sebuah “kewangen”.

5) Pis bolong
Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperluka dalam upacara
keagamaan umat Hindu. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng
juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta
pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung
estetika dari “kewangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu
penyatuan Siwa Budha.

E.      Komposisi keindahan Kewangen

            Komposisi merupakan penataan unsur-unsur yang membentuk keindahan
suatu karya. Komposisi keindahan “kewangen” adalah menata atau menyusun unsurunsur
dari “kewangen” itu sendiri, seperti: menata atau menyusun kojong kewangen,
pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga,
sehingga menjadi bentuk yang indah dan menarik.

1) Keseimbangan
            Penataan unsur-unsur “kewangen” dengan memperhatikan keseimbangan antara
bagian kiri dan kanan dengan menerapkan keseimbangan simetris, yaitu bagian
kiri dan kanan diusahakan unsur-unsurnya memiliki bentuk, ukuran, dan warna
yang sama. Hal ini dilakukan agar “kewangen” tidak berkesan berat sebelah.

2) Kesatuan
Penataan unsur-unsur “kewangen” agar berkesan suatu keutuhan bentuk. Unsur
yang satu menukung unsur yang lainnya sehingga tidak ada kesan yang lepas
atau terpisah antara bagian-bagian dari “kewangen” itu sendiri. Penataan ini
perlu dilakukan agar pandangan orang terhadap “kewangen” terfokus pada
keutuhan bentuk “kewangen”.



3) Irama
Penataan unsur-unsur “kewangen” berdasarkan irama untuk menimbulkan
keharmonisan bentuk “kewangen”. Penataan ini dapat dilakukan dengan
mengatur gradasi bentuk, ukuran dan warna unsur, misalnya dari bentuk kecil ke
bentuk yang lebih besar dan kembali ke bentuk yang kecil, atau dari warna yang
terang ke warna yang lebih gelap dan kembali ke warna yang terang.


4) Proporsi
Proporsi merupakan perbandingan dalam penataan unsur-unsur pembentuk
kewangen” termasuk ketepatan penempatan posisi dari masing-masing bagianbagian
dari “kewangen”, seperti penempatan sampian kewangen pada bagian
belakang, pis bolong pada bagian depan, dan sebaginya. Penempatan unsur-unsur
kewangen yang tepat pada posisinya tentu akan mendukung keindahan bentuk
kewangen”.

F.      Hubungan bentuk, esteika dan fungsi

           
            Bentuk “kewangen” yang kecil dan mungil serta seolah-olah berbentuk segitiga terbalik tentu telah memperhitungkan fungsi dari “kewangen” tersebut. Fungsi yang dimaksud adalah saat digunakan untuk sembahyang, yaitu “kewangen” dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan tepat sejajar dengan ubun-ubun. Artinya “kewangen” nyaman digunakan saat sembahyang, tidak susah dipegang, tidak mudah jatuh dan tidak mengganggu konsentrasi

            Keserasian antara bentuk dan fungsi mutlak harus dikondisikan. Keindahan bentuk jangan
sampai mengganggu fungsi dan sebaliknya fungsi jangan sampai menganggu bentuk. Kalau diperhatikan, pada bagian badan “kewangen” yang merupakan kojong “kewangen” dibuat polos (sederhana) tanpa hiasan, hal ini untuk memudahkan dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan. Demikian juga, keindahan bentuk jangan sampai tergganggu akibat salah menggunakan atau memegang “kewangen”.

            Keserasian bentuk dan fungsi “kewangen” akan memberikan kepuasan bathin
saat memandangi estetika “kewangen”, seperti dapat menimbulkan kesenangan,
menyejukkan pikiran, dan kedamaian hati. Demikian juga saat digunakan untuk
sembahyang dapat memberikan kekusukan dan kesucian bathin.
                                                                        
            Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa estetika “kewangen” nampak
pada bentuknya yang kecil dan mungil yang tersusun atas komposisi unsur-unsur
yang indah dan bermakna simbolik serta dihiasi dengan bunga-bunga yang harum.
Keindahan (estetika) kewangen memiliki keserasian bentuk dan fungsi sehingga
nyaman digunakan pada saat sembahyang baik secara fisik maupun bathin.

           


























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

            Sebagai penutup dari peper ini penulis memeberikan kesimpulan bahwa :
          Sesungguhnya Kwangen atau Kuangen ini tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. dimana Kwangen ini sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Seperti  kita  ketahui bahwa Kawangen tidak hanya dipakai pada upacara persembahyangan saja tetapi juga dipakai pada upacara-upacara lainnya umpamanya pada upacara Bhutayadnya. Kawangen ditempatkan di atas kulit binatang (bayang-bayang) yang dipersembahkan. Pada upacara Devayadnya, Kawangen dipakai melengkapi “pedagingan“, sedangkan pada upacara Pitrayadnya, Kawangen diletakkan pada persendian-persendian seseorang yang sudah meninggal, ataupun pada puspa (sekah). Rupanya fungsi Kawangen dalam hal ini adalah sebagai “Pengurip-urip“. Disamping itu pada beberapa jenis sesajen akan dipergunakan pula Kawangen sebagai pelengkapnya. Mengenai pemakaian uang disesuaikan dengan fungsinya, yaitu bila dipakai sebagai pengurip-urip sedapat mungkin dipakai uang kepeng, sebab peranan uang dalam ha ini tidak hanya kepeng, tetapi juga sebagai pengganti “Panca Datu” ( emas, perak, tembaga, besi dan permata ). Tetapi juga dipakai pada upacara-upacara persembahyangan yang umum atau sebagai pelengkap sesuatu sesajen, dapat dipergunakan uang logam, sebab yang diutamakan dalam hal ini adalah bentuk yang bulat melambangkan Vindu.

Demikian Peper dapat saya sajikan, mudah-mudahan bisa bermanfaat, khususnya bagi kami penulis, umumnya  bagi para pembaca sekalian. Saya menyadari dalam penyusunan Peper ini masih banyak kesalahan dan kekurangannya kritik yang bersifatnya membangun sangat saya harapkan untuk kemajuan kearah yang lebih baik.



















DAFTAR REFERENSI
Anonim. 2002. “Kewangen”, “Bahasa” Umat Kepada Tuhan.
http://www.network54.com.
Anonim. 2002. Kewangen, Lambang “Om Kara”. http://www.network54.com.
Anonim. 2001. Kewangen. http://www.babadbali.com
Niken Tambang Raras. 2006. Kewangen Mengingat-mengucapkan dan
Mengharumkan Nama-Nya.Surabaya: Paramita.
Surayin, Ida Ayu Putu. 1992. Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-Upacara
Yadnya. Denpasar: Upada Sastra.